Skandal Tanah PUPR Dugaan Penjualan Ilegal Rp 800 Juta, Kades Margacinta Terseret
Garut – bidikhukumnews.com
Dugaan praktik penjualan tanah milik negara kembali mencuat di Kabupaten Garut. Kali ini, lahan milik Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang berada di Desa Sukarame, Kecamatan Leles, diduga dijual oleh oknum perangkat Desa Margacinta, Kecamatan Leuwigoong, atas perintah Kepala Desa setempat. Nilai transaksi disebut mencapai ratusan juta rupiah. Kamis, 02-10-2025.
Sekretaris Desa Sukarame dengan beberapa perangkat mengungkapkan pihaknya telah berulang kali mencoba meminta klarifikasi kepada Kepala Desa Margacinta terkait tanah tersebut. “Sudah tiga kali diundang untuk musyawarah, tapi tidak pernah hadir. Padahal tanah itu diketahui statusnya setelah ada pencairan,” ujarnya.
Hal senada disampaikan oleh Wawan, Satgas Desa Sukarame. Ia menegaskan, lahan PUPR sepanjang kurang lebih 1.350 meter di Blok Caneang, Dusun 3 RT 01 RW 13 Desa Sukarame, diduga dijual oleh Dedi, salah satu kepala dusun di Desa Margacinta, atas instruksi Kepala Desa Margacinta. “Informasi dari Dedi, tanah itu dijual sekitar Rp 800 juta. Padahal jelas-jelas objeknya masuk wilayah Desa Sukarame. Kami sudah tempuh cara persuasif, undangan tiga kali, tapi Kades Margacinta tidak pernah hadir,” tegas Wawan.
Sementara itu, Kepala Desa Margacinta, Acep Gandi, membantah jika penjualan lahan tersebut melibatkan pemerintahan desa. Menurutnya, hal itu urusan pribadi Dedi. “Sudah dua tahun yang lalu. Banyak media datang untuk klarifikasi. Kalau mau lebih jelas, silakan tanya ke Ujang dari UPT PUPR Lewigoong, beliau lebih tahu,” kata Acep.
Namun, bantahan tersebut tidak sejalan dengan pernyataan Ujang, staf UPT PUPR Lewigoong. Ia menegaskan, penjualan tanah PUPR tanpa izin Dinas merupakan tindakan ilegal. “Saya tahu setelah ramai. Awalnya lahan dekat bendungan dipakai tol. Desa Margacinta mengakuinya dengan alasan penyelamatan aset. Hasil penjualan katanya dipakai membeli tanah lagi di Tambakan, senilai Rp 500 juta. Tapi tetap saja, menjual tanah PUPR tanpa koordinasi dengan Dinas itu tidak dibenarkan,” ujar Ujang.
Sayangnya, hingga berita ini diterbitkan, Sekretaris Dinas PUPR Kabupaten Garut belum memberikan keterangan resmi meski sudah dihubungi melalui telepon maupun kunjungan langsung ke kantor.
Mengacu pada regulasi, terdapat sejumlah potensi pelanggaran dalam kasus ini :
1. UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Pasal 45 ayat (1) menegaskan, setiap barang milik negara/daerah dilarang dipindahtangankan tanpa persetujuan Menteri Keuangan (pusat) atau Kepala Daerah (daerah). Penjualan tanah PUPR tanpa persetujuan resmi berpotensi masuk kategori perbuatan melawan hukum.
2. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Penjualan aset negara hanya dapat dilakukan melalui mekanisme lelang dan dengan izin Menteri Keuangan.
3. UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Jika terbukti ada keuntungan pribadi atau kelompok dari hasil penjualan tanah negara, maka perbuatan ini dapat dikategorikan tindak pidana korupsi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun.
4. UU Desa No. 6 Tahun 2014. Kepala Desa dilarang menggunakan kewenangan untuk melakukan tindakan yang merugikan keuangan negara/daerah maupun merampas hak desa lain.
Kasus dugaan penjualan tanah PUPR ini membuka kembali potret lemahnya pengawasan aset negara di tingkat desa. Jika benar terjadi penjualan ilegal senilai Rp 500–800 juta, maka perbuatan tersebut tidak hanya mencederai hukum, tetapi juga berpotensi merugikan keuangan negara.
Kini, masyarakat menunggu langkah tegas dari aparat penegak hukum, baik kepolisian, kejaksaan, maupun KPK, untuk menelusuri aliran dana dan menindak para pihak yang terlibat.
Reporter : ASB








