Skandal Dana Desa di Simpangsari BUMDes Masagi Dikuasai Segelintir Orang, Ratusan Juta Menguap Tanpa Laporan

Garut Cisurupanbidikhukumnews.com

Bau busuk pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Masagi, Desa Simpangsari, Kecamatan Cisurupan, Kabupaten Garut, makin tercium. Aliran Dana Desa ratusan juta rupiah yang seharusnya menjadi mesin penggerak ekonomi warga justru diduga dikuasai segelintir orang tanpa transparansi dan pertanggungjawaban yang jelas. Senin, 01-09-2025

Sekretaris Desa (Sekdes) Simpangsari, Bayu, blak-blakan menyebut pembentukan pengurus BUMDes baru pada Januari 2025 cacat prosedur. Ketua BUMDes yang baru, H. Anton, ditunjuk tanpa pemilihan resmi. “Tidak ada sertijab dari pengurus lama ke pengurus baru. Bahkan hanya ada satu orang pengurus aktif bernama Ai Syarifah. Anehnya, meski belum jelas kepengurusannya, pada April 2025 BUMDes kembali menerima Rp 235 juta dari Dana Desa. Hingga kini, laporan persemester tidak pernah dibuat”, ungkap Bayu.

Lebih parah, pengurus lama yang diketuai Isep masih menyisakan masalah. Dana Desa Rp 60 juta yang dikucurkan hanya terealisasi Rp 30 juta dan kini menjadi temuan Inspektorat. Laporan pertanggungjawaban pun tak kunjung ada. Praktis, BUMDes lama bubar jalan tanpa meninggalkan aset usaha.

Ketua BUMDes Masagi, H. Anton, saat dikonfirmasi mengakui dirinya mengelola dana Rp 235 juta untuk berbagai kegiatan. Ia merinci penggunaan dana, mulai dari renovasi kantor Rp 6,4 juta, pengadaan barang (CCTV, kulkas, wifi, rak) lebih dari Rp 10 juta, hingga sejumlah usaha yang tersebar pada pengurus dan keluarganya :
1. Rp 100 juta dikelola langsung oleh dirinya,
Rp 57 juta untuk jual beli beras 4 ton, sebagian di kantor Bumdes 2.6 ton.
2. Rp 28,5 juta untuk pakan ayam petelur oleh Surya
3. Rp 15 juta usaha makaroni yang dikelola anaknya.
4. Rp 38 juta usaha pupuk dan LPG oleh bendahara.
5. Rp17,5 juta usaha pupuk oleh divisi UMKM,
6. Rp 8 juta dipinjam oleh Sekdes Bayu untuk usaha warung.
7. Rp 8 juta dipinjam oleh Ai untuk usaha daging ayam,
8. Rp 6 juta untuk santunan anak yatim.
Ironisnya, hingga kini tak ada laporan keuangan resmi yang disampaikan ke pemerintah desa.

Sejumlah dugaan pelanggaran mencuat :
1. Cacat Prosedur Pembentukan Pengurus
Bertentangan dengan Permendesa PDTT Nomor 4 Tahun 2015, pembentukan BUMDes wajib melalui musyawarah desa, bukan hanya kesepakatan Kepala Desa dan BPD.

2. Laporan Pertanggungjawaban Mangkrak
Melanggar Permendagri Nomor 20 Tahun 2018 yang mewajibkan laporan berkala penggunaan Dana Desa.

3. Konflik Kepentingan . Dana desa justru dipinjam oleh perangkat (Sekdes Bayu) dan dikelola oleh keluarga ketua (anaknya mengelola usaha makaroni dan jual beli beras). Ini melanggar prinsip good governance dan berpotensi penyalahgunaan wewenang.

4. Indikasi Tindak Pidana Korupsi
Sesuai UU Tipikor No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, penggunaan dana negara yang tidak jelas laporan, tidak sesuai peruntukan, atau menguntungkan pihak tertentu, berpotensi dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara.

5. Masyarakat Dirugikan, APH DidesaK Bertindak. Alih-alih mendorong ekonomi desa, BUMDes Masagi justru terjebak praktik serupa “koperasi keluarga”. Ratusan juta rupiah yang berasal dari Dana Desa kini terkesan raib tanpa arah jelas. Masyarakat pun bertanya-tanya: apakah BUMDes benar-benar milik desa, atau hanya milik segelintir orang yang dekat dengan kekuasaan?

Kasus ini kini menjadi ujian serius bagi Inspektorat, Kepolisian, dan Kejaksaan Garut. Tanpa langkah tegas, Dana Desa berpotensi terus dijadikan bancakan, sementara warga dibiarkan hidup dalam kesulitan ekonomi.

Reporter : ASB